Chapter 1

Minggu, 20 September 2009 | | 0 komentar

Pagi ini sungguh pagi yang paling indah sedunia, karena bunda berjanji akan memasakkanku Barbeque, padahal aku tak yakin bunda bisa memasak, yang ada malah, makanannya gosong! Aku menarik kursi di dapur. Aroma barbeque mulai terasa. Perutku judah mulai ngedumel mengenai sarapan pagi ini.

Ayah duduk dengan tenang sambil memegang burung beo-nya. Kakak dan abangku asyik melototin tugas untuk kuliah masing-masing. Hanya aku yang nganggur. Adikku yang paling keceil Madely, asyik melempar-lempar boneka, sesekali ia mengganggu kakakku Fairy, kadang juga mengganggu abangku, Boxy.

Aku jamin, Madely nggak akan berani mengganggu ayah, karena ayah sedang memegang beo, dan satu fakta, bahwa Madely nggak akan pernah suka beo. Aku duduk di kursi meja makan, meminum sereal yang sudah dituangkan Mbok Neeh.

”Late! Urus dong si Madely ini!” kakakku tampak sangat kesal pada sikap Madely yang tak berhenti mengganggunya.

”Iya. Kau ini hanya duduk saja!” abangku juga ngotot untuk mengusir Madely.

”Ahahahahaha... tapi aku disuruh untuk membantu bunda, kalian tau kan gimana kalau bunda memasaaaaak?” tanyaku, lalu berlalu pergi.

Aku sebenarnya nggak ada niat buat bantu bunda. Aku hanya duduk di depan rumah. Menatap tamanku yang penuh dengan bunga. Aku melihat sebuah truck terpakir di depan. Aku diam saja, sepertinya sang supir truck turun dan memindahkan barang ke dalam rumah. Waaaah, tetangga baru! Aku berdiri mencoba melihat, tetapi tak da kudapati sang pemilik rumah.

Aku berjalan menuju supir truck tadi. Rumah itu sudah mulai terisi, tetapi hanya ada satu kursi, satu meja, dan satu meja makan plus kursinya disana. Aku melihat-lihat ke dalam.

”Boleh aku bertanya?” tanyaku pada sang supir.

”Silahkan,” ia mempersilakan dengan sopan.

”Siapa yang punya rumah baru ini??” tanyaku to the point.

Sang supir menyernyitkan dahi sebentar, lalu melanjutkan.

”Waaaah, kalau itu saya kurang tau juga! Soalnya yang berbicara pada ibu itu bukan saya, tetapi ketua perkumpulan truck ini,” jawabnya sambil mengangguk-angguk, menyakinkan dirinya akan jawaban yang telah diberinya.

”Ooohh,” aku menjawab sabil tersenyum. ”Waah, kalau begitu terimakasih atas informasinya, maaf mengganggu!” aku tersenyum sebentar, lalu masuk ke rumah.

Aku duduk di dekat Madely. Memeluknya dari belakang, karena aku sedang gemas-gemasnya padanya. Bunda dan Mbok Neeh belum selesai memasak. Ayah juga sedang memandikan beonya. Beo menjerit-jerit membuat rumah jadi tambah ribut, aku yakin ini akan menganggu konsentrasi kakak dan abangku. Ternyata benar saja.

Kakakku mengambil kotak pensilnya, lalu melemparkannya ke arah ayah dan beonya. Beo tambah memekik-mekik. Sekarang, abangku yang tampak cekatan memegang penghapusnya, tetapi memilih membidik beo, tidak sekalian dengan ayah. Ayah tampak pasrah, ia meletakkan beo di salam sangkar lagi, dan meletakkannya di depan rumah.

Kakak dan abangku mengangguk senang. Aku mulai melepas Madely. Aku yakin, kakak dan abangku nggak akan bakal tega buat ngelempar Madely. Madely mulai membuat kerusuhan! Ia mengambil tugas kakakku dan mulai mencabik-cabiknya, kakak memekik! Aku menutup mulut kakak.

”Kak, kau mau kita di usir dari perumahan ini?!” tanyaku kesal.

Ayah melenggang dengan santai. Ia berkata dengan ringan. ”Anak durhakan kan biasanya dapat balasan! Hahhahahahahaahahahahahahahahaha!” ayah tertawa panjang-panjang. Kakak tampak semakin kesal.

Bunda datang dari dapur. Membawa piring berisi barbeque. Aku menatap asap mengepul-ngepul dari makanan. Bunda tersenyum sumringah. Kami semua saling bertatapan. Menebak rasa apa yang ada di barbeque itu. Apakah asam,terlalu asin, atau terlalu manis?

Aku yang duluan melangkah menuju meja makan. Melihat makanan itu dengan penuh selidik. Bunda tersenyum menyakinkan.

”Percayalah, rasanya enak kok!” bunda menyakinkanku.

Aku mengambil sendok yang ada di meja makan.

Gigitan pertama. Rasa teramat pedas menjalar ketubuhku. Tapi aku berbohong.

”Wuuuiiih, gila aja! Enak banget nih!” aku menunjuk sang barbeque.

Bunda menatapku tak percaya. Aku mengangguk mengiyakan. Semua langsung menyerbu ke arah meja makan, melahap barbeque, tapi seketika semua muka menjadi merah. Aku berusaha menahan tawa. Hahahahaha, mereka kira aku bisa seenaknya menjadi tumbal? Nggak banget deh!

Ayah yang duluan ngebirit mengambil air. Aku sudah mengambil air daritadi, untuk cadangan, kalau-kalau rasanya membuat perut mual. Kakakku menjerit histeris. Hahahaha, emang enak! Kalau abangku memilih diam dengan muka shock. Cuma aku dan Madely yang tenang-tenang saja. Bunda sendiri memilih diam. Nggak tau harus berbuat apa.

Bunda langsung menangis terisak. Aku melihat muka penyesalan pada kakak, abang, dan ayahku. Menyesal karena mengatakan yang sejujurnya.

”Bunda, maafin aku,” aku duduk disamping bunda yang masih terisak.

"Hahahahaahahahahaaha," tiba-tiba bunda tertawa ngakak. Aku dan keluargaku terbengong-bengong.

"Kenapaa bun?" tanya kami semua.

"Sebenarnya itu hanya barbeque rekayasa, yang aslinya adalaaaaaaahhh..." Bunda melihat ke arah dapur. ”Mbok Neeh!!!” teriak bunda nyaring. Mbok Neeh keluar membawa barbeque yang, walaaaaah, tak bisa dikatakan dengan kata-kata. Harumnya aja udah sampe ke hidung kami masing-masing.

Aku yang duluan mencomot Barbeque. Rasanya guriih banget. Aku memeluk bunda dan mengucapkan selamat (tentu aja, ini pertama kalinya si bunda bisa buat makanan sampe liur netes!) tapi aku jadi sedikit ragu.

"Bun, kalau boleh nanya, yang masak sebenarnya siapa sih?" tanyaku penasaran.

Bunda tampak salah tingkah.

"Waaaah, jangan-jangan bukan bunda lagi!" ayah langsung menuduh.

"Iyaa siiihh," bunda memperlihatkan wajah malu-malunya.

"Yaaaaaaaahhhh ..."

Kami semua tertawa bersama-sama.


***